MAN3PLG.SCH.ID Opini DAHULUKAN AKHLAK SEBELUM FIKIH (MENGHUKUMI)

DAHULUKAN AKHLAK SEBELUM FIKIH (MENGHUKUMI)

Oleh. Subroto Alfaris*

Sahabat mulia Anas bin Malik -raḍiyallāhu ‘anhu- menuturkan,

“Seorang Arab Badui datang lalu kencing di salah satu sudut masjid. Maka orang-orang membentak dan berusaha mencegahnya. Lantas Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- melarang mereka. Setelah lelaki itu menyelesaikan kencingnya, beliau pun memerintahkan untuk mengambil satu ember air kemudian disiramkan pada bekas kencingnya.”  Hadis sahih – (Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan kisah pada hadis di atas, secara ilmu fikih adalah tepat dan wajar jika para sahabat marah dan membentak si Arab Badui oleh karena perbuatan buruknya yakni kencing di masjid. Karena masjid adalah tempat yang suci dan disucikan, dan para ulama bersepakat bahwa tidak boleh ada najis dan kotoran yang sengaja dibuang di masjid apalagi sampai mengencinginya.

Namun ternyata, perlakuan sahabat yang didasari ilmu fikih yang langsung ingin menghukumi perbuatan tersebut harus “dinomorduakan” ketika berhadapan dengan orang-orang seperti Arab Badui. Mengapa? Begini, sebagaimana kita ketahui bahwa Arab Badui adalah sebuah suku yang kehidupannya nomaden (berpindah-pindah), keras, jauh dari kehidupan masyarakat perkotaan dan tentunya minim pengetahuan. Nah, faktor inilah sesungguhnya yang “menginisiasi” Nabi untuk tidak langsung menghakimi dan menghukumi si Badui. Karena ternyata beliau paham betul tentang siapa si Arab Badui. Untuk itu dengan kearifan dan kebijaksanaan beliau, membiarkan si Arab Badui menunaikan hajatnya hingga tuntas, lalu kemudian memerintahkan orang untuk mengambil seember air dan kemudian disiramkan ke bekas kencingnya. Dan setelah itu barulah beliau berkata dengan penuh kelembutan,

“Sesungguhnya masjid ini tidak boleh dikencingi, ia dibangun untuk dzikir dan shalat kepada Allah.” (HR. Ibnu Majah)

Sebuah metode dakwah, pengajaran dan pembelajaran yang bijaksana, humanis dan penuh toleransi yang sangat tinggi. Disini Nabi mampu memilih dan memilah mana yang harus didahulukan antara fikih (baca: menghukumi) dan adab/akhlak. Jika memilih fikih, main hantam, langsung menghukumi atau memvonis, maka bisa jadi si Badui tidak mau lagi datang ke masjid, menemui Nabi, atau sekedar ingin mendapatkan pengetahuan dan pengajaran dari Nabi. Tentunya ini menjadi sebuah kerugian besar ketika hidayah tidak mampu disampaikan secara arif dan bijaksana. Sebaliknya, jika memilih mendahulukan akhlak sesuai dengan fitrah kemanusiaan dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan, maka ada harapan tersentuh hatinya dan yang pasti merasa benar-benar dimanusiakan. Metode pengajaran yang dilakukan oleh Nabi tersebut diperkuat pula oleh kesaksian orang-orang di sekeliling Nabi, ketika salah seorang diantara mereka mengatakan,

“Aku tidak pernah melihat guru yang lebih baik dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengajar. Beliau tidak mengumpat, tidak memaki atau tidak membentak.” (HR. Muslim)

Sebuah persaksian tentang akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam yang terkadang sangat kontradiktif dengan perilaku umatnya saat ini yang mengaku mencintai beliau. Metode ala Nabi seperti inilah yang seharusnya dianut oleh kita semua para pecinta dan penegak sunnah dalam menebarkan kebaikan, mengajarkan agama, atau mendakwahkan al Quran dan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Yaitu dengan mendahulukan akhlak dan adab sebelum menghukumi orang lain.

Ketika seseorang yang tidak pernah datang ke masjid umpamanya, kemudian tiba-tiba ia mau hadir ke masjid untuk beribadah, maka tidaklah tepat jika kita tergesa-gesa untuk mengkritisi atau menghakiminya atas kesalahan-kesalahan yang dilakukannya dalam hal tata cara ibadah. Karena bisa saja kesalahan itu disebabkan ketidaktahuannya atau mungkin kesalahan itu hanyalah pada masalah fikih yang ijtihadi yang masih diperselisihkan oleh para ulama akan kebenarannya yang pastinya di situ terbuka ruang untuk berbeda pendapat. Maka tepatlah para ulama kita ketika menegaskan, “al adabu fawqol ilmi” adab itu diatas ilmu. Dan dalam perkataan lainnya disebutkan, “nahnu du’aat laa qudhoot” kita ini adalah seorang penyeru kebaikan (da’i) bukanlah seorang hakim (yang tugasnya hanya memvonis).

Allahu a’lam

*Guru Fikih dan Ushul Fikih MAN 3 Palembang