MAN3PLG.SCH.ID Opini Jamuan Itu Bernama Al-Quran: Upaya Mengembalikan Pembacaan Yang Benar Atas Al-Quran

Jamuan Itu Bernama Al-Quran: Upaya Mengembalikan Pembacaan Yang Benar Atas Al-Quran

Oleh. Subroto Alfaris*

Berbicara tentang Al-Quran sesungguhnya membicarakan sesuatu yang tidak pernah ada habisnya. Dari sisi manapun kita memulai pembicaraan itu, maka kita akan temukan dan rasakan, ia bagaikan samudera luas yang dalam dan tidak bertepi. Akan selalu ada hal-hal baru yang kita dapatkan dari hasil tadabbur (perenungan dengan pemahaman mendalam) dan pembacaan kita terhadap Al-Qur’an. Seorang ulama bernama Abdullah Darraz dalam “Al-Naba’ Al-Azhim”, sebagaimana dikutip Prof. Quraisy Syihab dalam “Membumikan Al-Qur’an”, pernah mengatakan,

“(ayat-ayat Al-Qur’an) bagaikan intan: setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang Anda lihat.”

Apa yang dikemukakan Abdullah Darraz di atas dapat dibenarkan dengan terdokumentasikannya begitu banyak kitab-kitab tafsir yang lahir dari goresan tinta para ulama, mulai dari ulama-ulama klasik (salaf) hingga ulama kontemporer (khalaf), dengan beragam metode, corak dan isi tentunya. Nama-nama besar seperti Ibn Katsir, At-Thobari, Al-Qurthubi, Ar-Razi, Al-Zamakhsyari, Al-Suyuthi dan lain sebagainya telah mencatatkan diri mereka dalam panggung sejarah intelektual Islam sebagai mufassirun (para ulama tafsir) dengan magnum opus (mahakarya) mereka masing-masing yang sempat “viral” pada masanya dan terus menjadi pusat perhatian bagi para pecinta ilmu hingga saat ini dengan menjadikannya sebagai referensi utama dalam diskursus keilmuan Islam.

Belum lagi kajian-kajian Al-Qur’an yang marak dilakukan oleh para ilmuwan Islam lainnya pada masa lalu dengan tema-tema yang berbeda dalam berbagai bentuk tinjauannya. Hingga melahirkan disiplin ilmu yang bermacam-macam pula sebagai buah dari pembacaan yang sempurna dan paripurna terhadap Al-Qur’an. Hal ini, sekali lagi, membuktikan bahwa Al-Quran sebagai mukjizat telah mengukuhkan dirinya tanpa ada keraguan sedikitpun sebagai sumber dari segala sumber, kitab suci yang orisinil dan otentik yang selalu menghadirkan inspirasi dan motivasi bagi para pembacanya yang berkorelasi kuat dengan kehidupan nyata ummat manusia dalam setiap redaksi ayat yang dihadirkannya.

Berangkat dari itu semua, dalam kaitannya Al-Quran sebagai huda (petunjuk), kita tentunya telah mengetahui bahwa Al-Quran tidak berhenti pada petunjuk-petunjuk teologis (keimanan) dan ibadah ritual-spiritual semata, tetapi lebih dari itu Al-Quran telah mengidentifikasi dirinya menjadi huda pada aspek-aspek lainnya seperti sosial, budaya, ekonomi, sains, pendidikan, sejarah, hubungan lintas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), hingga pada aspek politik (baca: kepemimpinan) dan lain sebagainya. Inilah jamuan Al-Quran itu dan inilah wawasan Al-Quran.

Kenyataan ini pastinya menjadikan umat Islam saat ini seharusnya tidak terfokus hanya pada satu aspek saja dalam memahami Al-Quran, misalnya hanya pada masalah-masalah keimanan, ibadah dan hukum-hukum syariat saja dengan menegasikan atau enggan menggali lebih dalam lagi pada aspek-aspek lainnya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas yang pada gilirannya hanya akan memunculkan asumsi bahwa konsen kita di luar hal-hal tersebut (keimanan, ibadah ritual-spiritual dan hukum syariat) seolah bukan sebuah amal shalih dan tidak tercatat sebagai pengabdian kepada Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dari fakta, bahwa hingga saat ini tema besar yang masih mendominasi dalam kajian-kajian Al-Quran di halaqah-halaqah atau majelis-majelis ilmu adalah tema-tema keimanan, syariat dan hukum-hukum ibadah ritual. Alih-alih membicarakan sains dan ilmu pengetahuan lainnya dalam Al-Quran. Pada titik ini sepertinya hipotesis tentang kemunduran ummat Islam di segala bidang bisa jadi benar. Karena ummat seolah enggan untuk diajak menyantap jamuan Al-Quran pada aspek-aspek yang lain.

Selain itu, doktrin pembacaan terhadap aksara Al-Quran secara literal, dengan motivasi pahala dan ganjaran yang besar berikut ancaman dan dosa atas kesalahan dalam bacaan, lagi-lagi menjadi lebih diutamakan saat berinteraksi dengan Al-Quran. Bukannya hal itu tidak penting, namun tanpa disadari justru hal semacam itu berakibat pada ditinggalkannya pembacaan secara konseptual- kontekstual, sehingga ummat terkesan disibukkan dengan pernak-pernik ahkam al-tajwid (hukum-hukum tajwid) ketimbang mengeksplorasi makna-makna yang tersurat dan tersirat di dalam Al-Quran. Kenyataan ini pada gilirannya menjadikan masyarakat kita saat ini, khususnya generasi mudanya, terlihat lebih banyak disibukkan dalam tiga hal saja saat bermuamalah (baca: interaksi) dengan Al-Quran. Pertama, disibukkan dengan hanya memperbaiki bacaan huruf per huruf saja sambil diiringi dengan ancaman dosa jika bacaan tersebut menyalahi hukum-hukum tajwid. Kedua, disibukkan dengan berlomba-lomba menampilkan bacaan dengan suara yang indah dan merdu yang dibalut motivasi dakwah dan ghirah keislaman. Efeknya, generasi muda kita saat ini hanya senang mendengar dan menampilkan bacaan-bacaan yang merdu dan mendayu tadi, sedangkan pemahaman terhadap kandungan Al-Quran sangatlah minim. Ketiga, disibukkan dengan hafalan-hafalan yang diindikasikan dengan menjamurnya rumah-rumah tahfiz dan program-program tahfiz di sekolah atau madrasah yang menawarkan berbagai metode menghafal yang mudah, cepat dan menyenangkan. Lagi-lagi pada point ini ummat didoktrin dengan pahala dan ganjaran yang sangat besar ketimbang mendalami isi kandungan Al-Quran.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, maka mengembalikan pemahaman yang benar atas pembacaan Al-Quran kepada generasi muda, khususnya kaum terpelajar, terlebih lagi siswa-siswi madrasah, adalah sebuah keniscayaan dan keharusan. Mengingatkan kembali kepada mereka bahwa Al-Quran meliputi semua aspek kehidupan manusia. Menegaskan kembali kepada mereka bahwa membaca aksara Al-Quran dengan benar berdasarkan hukum-hukum bacaannya dan menghafalnya adalah sebuah kewajiban personal yang juga penting. Namun eksplorasi atas ayat-ayat Al-Quran untuk dihadirkan di tengah-tengah kehidupan ummat jauh lebih penting sebagai kewajiban secara sosial dan untuk itu pulalah misi Al-Quran diturunkan, petunjuk bagi manusia.

Menyadarkan kembali kepada ummat ini bahwa Al-Quran adalah jamuan Allah dengan beraneka ragam menu yang dihidangkan. Jamuan yang memang selayaknya kita hadiri sekaligus menyantapnya dengan lahap dan penuh kenikmatan. Sebagaimana disebutkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadisnya,

“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah jamuan Allah, maka ambillah darinya semampu kalian. Sungguh, aku tak mengetahui sesuatu yg lebih kosong dari kebaikan selain rumah yang di dalamnya tak ada bacaan Al-Quran. Sungguh, hati yg di dalamnya tak ada bacaan Al-Quran adalah hancur seperti hancurnya rumah yang tak berpenghuni”. (H.R. Ad-Darimi)

Berkenaan dengan hadis tersebut, Prof. Quraish Shihab mengatakan, “rugilah orang yang tidak menghadiri jamuan-Nya, dan lebih rugi lagi yang hadir tetapi tidak menyantapnya”.

Allahu a’lam bisshowab

*Guru Fikih dan Ushul Fikih Pada MAN 3 Palembang

Sumber Bacaan:

Prof. Quraish Shihab, Membumikan Al- Quran, Bandung, Mizan, 2006

————Wawasan Al-Quran, Bandung, Mizan

Sunan Ad-Darimi, Ensiklopedi Hadits (aplikasi)